Strategi mengajar menyangkut pemilihan cara yang dipilih guru dalam menentukan ruang lingkup, urutan bahasan, kegiatan pembelajaran, dan lain-lain dalam menyampaikan materi matematika kepada siswa di dalam kelas (Hudoyo, 1990: 11).
Dalam kegiatan pembelajaran matematika sering ditemui bahwa ketika siswa diberikan tugas tertulis, siswa selalu mencoba untuk langsung memulai menulis jawaban. Walaupun hal itu bukan sesuatu yang salah, namun akan lebih bermakna jika dia terlebih dahulu melakukan kegiatan berpikir, merefleksikan dan menyusun ide-ide, serta menguji ide-ide itu sebelum memulai menulisnya. Strategi think-talk-write yang dipilih pada penelitian ini dibangun dengan memberikan waktu kepada siswa untuk melakukan kegiatan tersebut (berpikir, merefleksikan dan untuk menyusun ide-ide, dan menguji ide-ide itu sebelum menulisnya).
Tahap pertama kegiatan siswa yang belajar dengan strategi think-talk-write adalah think, yaitu tahap berfikir dimana siswa membaca teks berupa soal (kalau memungkinkan dimulai dengan soal yang berhubungan dengan permasalahan sehari-hari siswa atau kontekstual). Dalam tahap ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian), membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat pada bacaan, dan/atau hal-hal yang tidak dipahaminya sesuai dengan bahasanya sendiri.
Tahap kedua adalah talk (berbicara atau diskusi) memberikan kesempatan kepada siswa untuk membicarakan tentang penyelidikannya pada tahap pertama. Pada tahap ini siswa merefleksikan, menyusun, serta menguji (negosiasi, sharing) ide-ide dalam kegiatan diskusi kelompok. Kemajuan komunikasi siswa akan terlihat pada dialognya dalam berdiskusi baik dalam bertukar ide dengan orang lain ataupun refleksi mereka sendiri yang diungkapkannya kepada orang lain.
Tahap ketiga adalah write, siswa menuliskan ide-ide yang diperolehnya dari kegiatan tahap pertama dan kedua. Tulisan ini terdiri atas landasan konsep yang digunakan, keterkaitan dengan materi sebelumnya, strategi penyelesaian, dan solusi yang diperolehnya. Huinker dan Laughlin (1996) mengatakan bahwa strategi ini terlihat secara khusus efektif ketika siswa ditugaskan untuk merencanakan, meringkas, atau merefleksikan dan mereka bekerja dalam grup heterogen yang terdiri dari 2-6 siswa. Grup heterogen dimaksudkan agar dalam grup tersebut terdapat siswa yang dapat membantu anggota lain dalam menyelesaikan masalah. Diskusi dimulai dari kelompok kecil kemudian ukuran kelompoknya diperbesar sehingga siswa menjadi lebih mampu dengan proses pembelajaran tersebut.
Menurut Silver dan Smith (1996:21), peranan dan tugas guru dalam usaha mengefektifkan penggunaan strategi think-talk-write adalah mengajukan dan menyediakan tugas yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif berpikir, mendorong dan menyimak dengan hati-hati ide-ide yang dikemukakan siswa secara lisan dan tertulis, mempertimbangkan dan memberi informasi terhadap apa yang digali siswa dalam diskusi, serta memonitor, menilai, dan mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif. Tugas yang disiapkan diharapkan dapat menjadi pemicu siswa untuk bekerja secara aktif yaitu soal-soal yang mempunyai jawaban divergen atau open ended task.
Untuk mewujudkan pembelajaran yang sesuai dengan harapan diatas, dirancang pembelajaran yang mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Guru membagi teks bacaan berupa Lembar Kerja Siswa yang dimulai dengan soal-soal yang berhubungan dengan lingkungan sehari-hari siswa (kontekstual) dan jika diperlukan diberikan sedikit petunjuk.
2. Siswa membaca teks dan membuat catatan kecil secara individu (think). Kegiatan ini bertujuan agar siswa dapat membedakan atau menyatukan ide-ide yang terdapat pada bacaan untuk kemudian diterjemahkan kedalam bahasa sendiri.
3. Siswa berdiskusi dengan teman dalam kelompok membahas isi catatan yang dibuatnya (talk). Dalam kegiatan ini mereka menggunakan bahasa dan kata-kata yang mereka sendiri untuk menyampaikan ide-ide matematika dalam diskusi. Pemahaman dibangun melalui interaksinya dalam diskusi. Diskusi diharapkan dapat menghasilkan solusi atas soal yang diberikan.
4. Dari hasil diskusi, siswa secara individu merumuskan pengetahuan berupa jawaban atas soal (berisi landasan dan keterkaitan konsep, strategi dan solusi) dalam bentuk tulisan (write) dengan bahasanya sendiri. Pada tulisan itu siswa menghubungkan ide-ide yang diperolehnya melalui diskusi.
5. Kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi yang dipelajari. Sebelum itu dipilih beberapa (atau satu) orang siswa sebagai perwakilan kelompok untuk menyajikan jawabannya, sedangkan kelompok lain diminta memberikan tanggapan.
Selama kegiatan pembelajaran guru bertindak sebagai mediator dan jika diperlukan dapat memberikan arahan, petunjuk, serta dorongan.
1. Belajar dalam Kelompok Kecil (Cooperative Learning)
Cooperative Learning merupakan model pembelajaran yang disetting secara sistematis mengelompokkan siswa agar tercipta pembelajaran yang efektif serta dapat mengintegrasikan keterampilan sosial siswa yang bermuatan akademis. Dalam Cooperative Learning, siswa dibagi dalamkelompok kecil yang saling bekerja sama untuk menyelesaikan suatu masalah atau suatu tugas dalam mencapai tujuan bersama (Turmudi, 2001).
Dalam pembelajaran dengan Cooperative Learning siswa berlatih mendengar dan menghargai pendapat orang lain, saling membantu dalam membangun pengetahuan baru dengan mengintegrasikan pengetahuan lama masing-masing individu. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap matematika serta dapat menerapkan nilai-nilai kerja sama dalam kehidupan sehari-hari.
Malone dan Krismanto (1997) mengatakan bahwa terdapat fakta bahwa siswa mempunyai perkembangan sifat positif dan persepsi yang baik tentang belajar matematika dengan pengelompokan. Bahkan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, penggunaan kegiatan kelompok dalam belajar matematika direkomendasikan secara tinggi untuk mendorong motivasi siswa dalam pembelajaran. Pada penelitian lain Duren dan Cherrington (1992) menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam ingatan jangka panjang siswa (student’s long-term retention) antara siswa yang dalam belajarnya mengerjakan latihan secara kelompok dibandingkan dengan siswa yang bekerja secara sendiri. Dengan memberikan soal kepada dua kelompok siswa tersebut beberapa bulan setelah proses pembelajaran, diperoleh bahwa siswa yang dalam belajarnya bekerja dalam kelompok ternyata lebih mampu menguasai materi pelajaran dibandingkan dengan siswa yang dalam belajarnya bekerja secara individu.
Terdapat dua teori yang mendukung bahwa prestasi siswa yang dalam belajarnya bekerja dalam kelompok lebih baik dari siswa yang belajar secara tradisional yaitu Teori Motivasional dan Teori Kognitif (Slavin, 1995: 16).
Menurut teori motivasional terdapat tiga jenis motivasi orang dalam belajar yaitu: (1) kooperatif, yaitu seseorang yang dalam mencapai tujuan belajarnya diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuan (usaha) orang lain; (2) kompetitif, yaitu seseorang yang dalam mencapai tujuan belajarnya diarahkan untuk menghalangi usaha orang lain dalam mencapai tujuannya; dan (3) individualistik, yaitu seseorang yang dalam mencapai tujuan belajarnya tidak mempengaruhi pencapaian tujuan belajar orang lain.
Menurut pandangan teori motivasional, belajar kooperatif menciptakan situasi dimana satu-satunya cara anggota kelompok agar tidak mengutamakan tujuan pribadinya adalah jika kelompoknya berhasil dengan baik. Oleh karena itu, keberhasilan kelompok harus diusahakan secara bersama dengan maksimal. Untuk mempertemukan tujuan dari masing-masing individu yang berbeda tersebut, setiap anggota kelompok harus membantu kelompoknya mengerjakan apapun yang dapat membuat kelompok itu sukses dan mendorong kelompoknya untuk berusaha secara maksimal.
Teori kognitif menekankan pengaruh dari kerja kelompok terhadap diri masing-masing anggota kelompok yaitu apakah kelompoknya sedang berusaha mencapai tujuan bersama yang merupakan gabungan dari tujuan masing-masing individu tersebut. Terdapat beberapa teori kognitif, yang secara garis besar dapat dibedakan atas: Teori Perkembangan Mental dan Teori Elaborasi Kognitif.
Menurut teori perkembangan mental pembelajaran terjadi saat anak bekerja pada suatu zona yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal development), yaitu suatu tingkat perkembangan sedikit berada diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Vigotsky (Slavin, 1995:17; Kariadinata, 2001) mendefinisikan zona perkembangan proksimal sebagai jarak antara level perkembangan nyata yang ditandai dengan kemampuan problem solving independent dan level perkembangan potensial ditentukan melalui pemecahan masalah dibawah bimbingan atau kolaborasi dengan orang yang lebih mampu. Untuk mencapai zona tersebut tugas guru adalah memberikan scaffolding, yaitu sejumlah bantuan kepada anak pada tahap awal pembelajaran, dan berangsur-angsur menguranginya untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk bekerja secara mandiri pada saat mereka sudah mampu. Bantuan dimaksud dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, mengaitkan masalah dengan langkah-langkah penyelesaian masalah, memberi contoh, atau hal-hal lain yang memungkinkan anak untuk tumbuh mandiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan keuntungan belajar dengan Cooperative Learning tidaklah cukup dengan siswa duduk berkelompok kemudian mengerjakan tugasnya secara individu, atau menugaskan seseorang dalam kelompoknya untuk menyelesaikan seluruh tugas kelompoknya. Pelaksanaan model ini haruslah didasari oleh filosofis getting better together, yang artinya untuk mendapatkan hasil belajar yang terbaik hendaklah dilakukan secara bersama-sama.
Johnson & Johnson (Astuti, 2000: 20) mengemukakan syarat agar belajar kooperatif dapat berhasil, yaitu:
1. Adanya saling ketergantungan yang positif. Hal ni menuntut guru untuk menciptakan suasana belajar mendorong siswa untuk saling membutuhkan.
2. Adanya interaksi tatap muka secara langsung sehingga dapat melakukan dialog dan dapat mengembangkan komunikasi yang efisien.
3. Adanya akuntabilitas individu. Artinya setiap individu dituntut memberikan andil bagi keberhasilan kelompok.
4. Adanya keterampilan menjalin hubungan interpersonal, yang berupa keterampilan sosial berupa: tenggang rasa, bersikap sopan terhadap teman, mengkritik ide orang lain secara benar, berani mempertahankan pikiran dengan logis, dan berbagai keterampilan lain yang bermanfaat untuk menjalin hubungan antar individu.
Untuk memenuhi tujuan tersebut perlu dipenuhi dalam Cooperative Learning hal-hal sebagai berikut bahwa para siswa yang tergabung dalam kelompok harus merasa bahwa: 1) mereka adalah bagian dari tim dan tujuan yang hendak dicapai adalah tujuan bersama, 2) masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan berhasil tidaknya kelompok menjadi tanggung jawab bersama, 3) untuk mencapai hasil maksimal mereka harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang mereka hadapi, dan 4) setiap pekerjaan siswa berakibat langsung pada keberhasilan kelompoknya (Turmudi, 2001).
Dalam membentuk kelompok Malone dan Krismanto (1997) mengusulkan salah satu cara yang dalam penelitiannya terbukti disukai siswa adalah berdasarkan keheterogenan kemampuan siswa dalam kelompok, sehingga pada setiap kelompok terdapat siswa pandai yang dapat membimbing atau membantu siswa lain dalam kelompok yang berkemampuan kurang. Sebaliknya siswa yang lemah tidak merasa enggan untuk berdiskusi dengan siswa yang pandai, sehingga dapat terjadi kolaborasi antar siswa tanpa melihat perbedaan latar belakang.
5. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan:
- Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan
- Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik
- Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika
- Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal
- Menggunakan matematika secara bermakna.
F. Kerangka Berpikir
Upaya peningkatan hasil belajar matematika siswa SMA di wilayah binaan kabupaten Dompu sudah merupakan hal yang sangat perlu untuk diupayakan sehingga siswa mendapatkan hasil belajar yang maksimal, upaya itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan peningkatan kinerja guru dalam mengelola pembelajaran yang inovatif, mulai dari persiapan perencanaan pengajaran, metode,strategi, media, sumber belajar, alat evaluasi, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, sampai dengan evaluasi hasil belajar.
Guru sering kali mendapatkan masalah dan kesulitan dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan pembelajaran yang inovatif, yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, karena berbagai keterbatasan, oleh karena itu diperlukan pendampingan terhadap guru mulai dari perencanaan pengajaran, pelaksanaan pembelajaran sampai dengan evaluasi hasil belajar. Jika upaya ini dilakukan dengan baik diduga dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam peningkatan hasil kinerja guru dan prestasi belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA:(BISA DI BARI DI BAWAH INI )
Cooney, T.J., et.al. (2005). Open-Ended Assessment in Math a Searchable Collection of 450+ Questions. [Online] Tersedia: http://www.heinemann.com/math/about_site.cfm. [16/5/05].
Corwin, R.B. (2002). Supporting Mathematical Talk in Classroom. [Online]. Tersedia: http://ra.terc.edu/publications/terc_pubs/tech_infusion/prof_dev/ prof_dev_conclution.ntml. [11/2/02].
Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik melalui Strategi Think-Talk-Write (Eksperimen di SMUN Kelas I Bandung). Disertasi Doktor pada FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Artzt, A.F. (1996). Developing Problem-Solving Behaviors by Assessing communiction in Cooperative Learning Groups. Dalam P.C Elliot dan M.J Kenney (Eds). Yearbook Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, VA: The National Council of Teachers of Mathematics.
Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating. K-8: Helping Children Think Mathematically. New York: Mac Millan Publishing Company.
terimakasih atas tulisannya, saya mw tanya apa saja referensi judul bukunya…..
SukaSuka
assalamualaikum, saya lagi cari materi atau buku ttw original ttw, bisa bantu saya?? buat referensi proposal atau skripsi, jika ada tolong emailkan saya ke anae_sweet@yahoo.com
SukaSuka
1. Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik melalui Strategi Think-Talk-Write (Eksperimen di SMUN Kelas I Bandung). Disertasi Doktor pada FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
2.Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating. K-8: Helping Children Think Mathematically. New York: Mac Millan Publishing Company.
3.Cooney, T.J., et.al. (2005). Open-Ended Assessment in Math a Searchable Collection of 450+ Questions. [Online] Tersedia: http://www.heinemann.com/math/about_site.cfm. [16/5/05].
4. Corwin, R.B. (2002). Supporting Mathematical Talk in Classroom. [Online]. Tersedia: http://ra.terc.edu/publications/terc_pubs/tech_infusion/prof_dev/ prof_dev_conclution.ntml. [11/2/02].
SukaSuka
assalamualikum….
klo boleh tau kak uda punya buku ttw tidak???? krn it juga judul materi skripsi sy
SukaSuka
1. Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik melalui Strategi Think-Talk-Write (Eksperimen di SMUN Kelas I Bandung). Disertasi Doktor pada FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
2.Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating. K-8: Helping Children Think Mathematically. New York: Mac Millan Publishing Company.
3.Cooney, T.J., et.al. (2005). Open-Ended Assessment in Math a Searchable Collection of 450+ Questions. [Online] Tersedia: http://www.heinemann.com/math/about_site.cfm. [16/5/05].
4. Corwin, R.B. (2002). Supporting Mathematical Talk in Classroom. [Online]. Tersedia: http://ra.terc.edu/publications/terc_pubs/tech_infusion/prof_dev/ prof_dev_conclution.ntml. [11/2/02].
SukaSuka