Penelitian ini dilatarbelakangi oleh suatu asumsi bahwa peningkatan mutu pembelajaran di sekolah dapat dicapai melalui peningkatan mutu sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan lainnya), walaupun diakui bahwa komponen-komponen lain turut memberikan kontribusi dalam peningkatan mutu pembelajaran.
Peningkatan sumber daya menusia telah banyak dilakukan pemerintah, terutama peningkatan kompetensi guru. Usaha ini berupa peningkatan kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan, workshop atau bentuk lainnya. Disamping itu, peningkatan profesionalisme guru juga dilakukan melalui kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) bagi guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan guru Sekolah Menengah Atas (SMA), atau pola-pola lain seperti seminar, lokakarya atau workshop.
Namun demikian prestasi belajar siswa masih memprihatinkan dan sampai saat ini kenyataannya bahwa prestasi belajar yang dicapai secara nasional belum semuanya sesuai dengan standar minimal yang ditetapkan pemerintah.
Hal yang sama juga terjadi terhadap guru di wilayah sekolah binaan Penulis di kabupaten Dompu. Pelatihan terhadap guru-guru di sekolah binaan tersebut telah banyak diikutkan dalam kegiatan diklat baik yang dilaksanakan oleh Pengawas Binaan itu sendiri, LPMP, Bimtek KTSP-SSN oleh Direktorat Pembinaan SMA yang difasilitasi oleh Fasilitator Pusata maupun daerah, PPPPTK, atau oleh Dinas Pendidikan Kota Dompu, namun hasil belajar siswa mereka masih dibawah standar yang diharapkan.
Pengamatan yang dilakukan peneliti selama menjadi fasilitator dalam kegiatan workshop atau diklat , bahwa pada struktur program dalam panduan pelatihan yang disusun pada setiap kegiatan diklat atau workshop, masih didominasi oleh kegiatan menyusun administrasi pembelajaran, dan hanya sedikit kegiatan yang membimbing guru dalam penguasaan materi serta penggunaan model-model pembelajaran CTL serta keterampilan menggunkan media pebelajaran yang sesuai.
Disamping itu, pada umumnya para guru yang telah mengikuti diklat atau workshop jarang mensosialisasikan hasil-hasil diklatnya kepada rekan-rekan mereka di sekolah. Hal ini terjadi karena kepala sekolah mereka jarang memberi kesempatan untuk mensosialisasikan hasil diklat kepada rekan-rekannya di sekolah.
Berdasarkan hal tersebut, Nawawi (1993) menyatakan bahwa ” program kelas tidak akan berarti bilamana tidak terwujudkan menjadi kegiatan. Untuk itu peranan guru sangat menentukan karena kedudukannya sebagai pemimpin pendidikan di antara peserta didik dalam suatu kelas”. Guru bertanggung jawab untuk mengatur, mengarahkan dan menciptakansuasana yang dapat mendorong peserta didik untuk melaksanakankegiatan-kegiatan di dalam kelas.
Untuk menunjang tugas tersebut maka guru perlu ditunjang dengan kemampuan profesional yang memadai. Guru yang profesional adalah guru yang menguasai kurikulum, menguasai materi pelajaran, menguasai model-model dan atau metode-metode pembelajaran, menguasai penggunaan media pembelajaran, menguasai teknik penilaian pembelajaran, dan komitmen terhadap tugas.
Dengan demikian diharapkan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru, dapat dicapai tanpa pemborosan waktu, tenaga, material, finansial, dan bahkan pemikiran sehingga pada gilirannya tujuan sekolah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Beeby (1987) menyatakan bahwa pelajaran-pelajaran yang diberikan guru amat kurang sekali variasinya, dan dengan sedikit kekecualian, pola yang sama telah menjadi standar di ulang-ulang sepanjang jam pelajaran sekolah. Kadang-kadang guru mulai mengajar dengan hanya mendiktekan saja pelajarannya dan jika masih ada waktu baru memberikan penjelasan sekedarnya tidak mencerminkan pembelajaran Contekstual Learning (CTC) apa lagi tanpa variasi dengan penggunaan media yang sesuai maupun sumber-sumber belajar yang memadai. Apabila kebiasaan seperti itu tetap dipraktekan oleh para guru di kelas selama proses pembelajaran, maka dapat dipastikan bahwa peningkatan mutu pendidikan akan sulit dicapai.
Pada umumnya kegiatan guru hanya mentrasfer pengetahuan atau pengalamannya dengan sedikit memberi kesempatan siswa untuk berdiskusi dan diakhiri dengan pemberian tugas atau latihan tanpa menggunakan media dan sumber belajar yang memadai.
Hasil pengamatan atau dialog peneliti dengan beberapa guru di sekolah binaan di kabupaten Dompu, bahwa kebanyakanmereka kurang menguasai pembelajaran CTL dan ketrampilan penggunaan media serta sumber belajar yang ada sehingga pembelajaran yang mereka laksanakan masih didominasi dengan cara mentrasfer dari pada menciptakan pembelajaran yang memberi kesempatan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya. Bettencourt,1989 dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (2006) menyatakan “Konsep keilmuan tidak dapat ditransfer oleh guru kepada siswa melainkan siswa itu sendiri yang mengkonstruksinya dari data yang diperoleh melalui pancaindranya”.
Oleh karena itu diperlukan adanya perubahan paradigma dalam melaksanakan pembelajaran yang semula guru berpikir bagaimana mengajar menjadi berpikir bagaimana siswa belajar.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti berkeinginan membantu guru meningkatkan kemampuan mereka menggunakan model-model Pembelajaran dan ketrampilan menggunakan media Pembelajaran Melalui Pelatihan model ”Kelasmen”.
well come
SukaSuka